Saatnya BGN Lebih Peka terhadap Realita Lapangan di Bungbulang Garut
Admin | 01 Juli 2025 | Dibaca 56 kali | ADMIN BERITA

Penolakan dua ajuan Dapur MBG SPPG secara bersamaa dari Kecamatan Bungbulang, Kabupaten Garut, oleh Badan Gizi Nasional (BGN) memunculkan kekecewaan mendalam dari pihak pengaju, yakni Yayasan Miftahul Huda Al Maskun. Alasan yang disampaikan melalui email cukup mengejutkan: kuota untuk Kecamatan Bungbulang telah penuh. Namun faktanya, belum ada satu pun dapur yang benar-benar aktif beroperasi di kecamatan tersebut.

Pernyataan "kuota penuh" ini jelas mengundang tanya. Jika memang sudah ada pihak yang mendapat kuota, masyarakat berhak mengetahui siapa dan di mana letaknya. Tanpa transparansi, pernyataan itu hanya menjadi tameng yang menyesatkan dan justru membuka ruang bagi spekulasi yang lebih jauh.

Realita Lapangan: Bungbulang Bukan Prioritas?

Bungbulang bukan wilayah yang bebas dari persoalan gizi. Justru sebaliknya, daerah ini masuk kategori wilayah rawan stunting dengan akses jalan yang masih sulit dijangkau, terbatasnya fasilitas kesehatan, serta rendahnya asupan pangan bergizi yang tersedia secara merata. Jika indikator prioritas penentuan dapur MBG benar-benar digunakan, Bungbulang seharusnya menjadi salah satu daerah yang paling layak menerima intervensi program SPPG.

Namun kenyataannya, dua pengajuan yang diajukan secara resmi melalui dashboard BGN ditolak. Padahal, Yayasan Miftahul Huda Al Maskun telah menyiapkan seluruh syarat administrasi, tim pelaksana, lokasi dapur, serta dukungan dari tokoh masyarakat. Tidak hanya itu, yayasan juga memiliki rekam jejak yang baik dalam pengabdian di sektor pendidikan dan sosial kemasyarakatan.

Hal ini justru menimbulkan tanda tanya: apakah proses penetapan kuota dan pemilihan mitra benar-benar berbasis kebutuhan riil dan kesiapan lapangan? Ataukah proses tersebut telah diintervensi oleh pihak-pihak tertentu di luar mekanisme formal, termasuk oleh aktor politik atau afiliasi partai tertentu?

Kecurigaan ini tidak berlebihan. Ketika prosedur resmi telah dilalui, kelengkapan syarat telah dipenuhi, dan kesiapan lapangan telah ditunjukkan, namun hasilnya nihil, maka ketidakjelasan menjadi alarm yang sangat mengganggu. Transparansi menjadi kunci utama yang sayangnya belum benar-benar dijalankan oleh BGN dalam konteks penolakan ini.


Program Nasional Jangan Jadi Alat Politik dan Pemanis Digital

SPPG sebagai bagian dari strategi nasional percepatan penurunan stunting seharusnya menjadi ruang partisipatif dan inklusif, bukan program yang elitis dan terkooptasi oleh kelompok tertentu. Sangat disayangkan jika sistem pengajuan melalui dashboard BGN ternyata hanya menjadi “pemanis digital” yang mempermainkan harapan masyarakat — khususnya mereka yang berada di daerah tertinggal dan memiliki keterbatasan akses jaringan serta kekuatan politik.

Apabila benar bahwa kuota sudah habis untuk Bungbulang, BGN seharusnya membuka data penerima secara terbuka kepada publik. Di mana dapur tersebut berada? Siapa pengelolanya? Apa dasarnya mereka dipilih? Jika pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan data yang akurat dan jujur, maka penolakan itu sendiri tidak memiliki legitimasi moral.

Kami dari Yayasan Miftahul Huda Al Maskun tidak sedang mencari pengakuan. Kami hanya ingin ikut serta membantu pemerintah dalam menekan angka stunting yang masih tinggi, terutama di kawasan selatan Garut. Namun upaya kami justru seperti dihentikan sebelum berlari.

BGN seharusnya mendukung pihak-pihak yang memiliki niat baik dan kesiapan lapangan, tanpa memandang kedekatan politik atau posisi strategis di pusat. Jangan sampai program besar seperti SPPG justru menjauh dari nilai-nilai keadilan dan pemerataan.


BGN Harus Membuka Diri dan Meninjau Ulang

Kami meminta Badan Gizi Nasional untuk meninjau ulang penolakan dua ajuan dapur MBG di Bungbulang. Kami juga mendesak agar data penerima kuota untuk kecamatan kami dibuka secara transparan kepada publik. Jika memang belum ada yang berjalan, maka tidak ada alasan logis untuk menolak pengajuan yang sudah siap dan terverifikasi.

Lebih dari itu, kami ingin mengingatkan bahwa keadilan sosial bukan hanya soal angka dan grafik di pusat, tapi tentang hadirnya solusi nyata di daerah-daerah yang selama ini tertinggal. Bungbulang layak mendapat perhatian, bukan karena kami meminta-minta, tapi karena kami sudah siap berbuat.

Saatnya BGN lebih peka. Saatnya keadilan gizi benar-benar hadir — bukan hanya di dokumen strategi nasional, tetapi di meja anak-anak Bungbulang.

BAGIKAN :



Berikan Komentar

Silakan tulis komentar dalam formulir berikut ini (Gunakan bahasa yang santun). Komentar akan ditampilkan setelah disetujui oleh Admin